KAUM REFORMIS

Oleh:
Rasid Yunus
(Koordinator Program Studi Magister PPKN UNG)

KPMLhulondalo.com Tulisan sederhana ini sebagai refleksi 117 tahun Kebangkitan Nasional (20 Mei 2025) dan 27 tahun Reformasi (21 Mei 2025). Secara singkat  mengurai kondisi sosial-politik dan sosial-ekonomi Indonesia tahun 1998. Reformasi dan pelakunya serta kondisi kaum reformis saat ini. Selanjutnya selamat membaca.


Selama 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa, harus diakui memang keberhasilannya menghadirkan kestabilan politik. Walaupun kondisi ini, lalai mewujudkan demokratisasi politik karena praktek patronase dan kronisme kekuasaan.


Mungkin di luar perhitungan, akhirnya Orde Baru di bawah Soeharto diperhadapkan pada kekuatan masyarakat sipil yang sudah lama terorganisir, namun masih terpendam menunggu momentum yang tepat untuk meledak.


Inilah yang disebut kekuatan civil society. Segmen ini terkadang disepelehkan. Tapi sadar atau tidak, merekalah yang akan menghukum  moral-politik kepada sang penguasa otoriter.


Arbi Sanit telah memprediksi di awal tahun 1998 akan terjadi krisis politik yang akan dihadapi oleh rezim Soeharto. Hal itu bersumber dari meruncingnya antara kutub kekuatan dipihak penguasa yang selalu menegakkan stabilitas politik, berhadapan dengan kekuatan sosial yang sedang mengalami akumulasi kekecewaan yang menginginkan pembaharuan (A.S. Culla, 1999).


Faktanya, krisis politik yang diprediksikan oleh Arbi Sanit memang terjadi. Sepanjang bulan Januari hingga Mei 1998, rezim Orde Baru diperhadapkan berbagai aksi keprihatinan dan demonstrasi mahasiswa serta elemen civil society lainnya.


Khusus gerakan mahasiswa, yang membuat tampak dahsyat ialah umumnya seluruh daerah di Indonesia terdapat perguruan tinggi dan di situ unjuk rasa terjadi, dengan tuntutan yang sama yakni “reformasi”.


Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak bulan Januari hingga Desember 1997 menyumbang pula ketidakpercayaan publik terhadap Soeharto. Tahun 1996 nilai Rupiah terhadap Dolar terhitung RP 2.300,-$US 1.


Tetapi pada tahun 1998 Rupiah terus anjlok mencapai RP 9.650,-$US 1, bahkan pada tanggal 17 Mei 1998 bergerak antara RP 12.000-18.000,-$US 1. Dalam konteks ekonomi Kondisi ini sangat memprihatinkan.


Situasi (krisis ekonomi dan politik), menyebabkan gerakan 1998 sangat terkondisikan sebagai kekuatan rakyat.  Mahasiswa sebagai garda terdepan menggalang kekuatan di luar kampus untuk mendapatkan dukungan kekuatan horizontal lainnya. Slogan kerakyatan dan perubahan politik untuk rakyat selalu digaungkan.


Memang menjelang pemilu tahun 1997 banyak suara yang datang. Dimana rakyat tidak menginginkan Soeharto menjadi presiden lagi, terutama mahasiswa. Berbagai poling dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang tersebar di beberapa kampus.


Misalnya  keluarga mahasiswa UGM, mahasiswa UI, ITB dan UII Yogyakarta. Dari jumlah mahasiswa yang berpatisipasi pada poling tersebut, diperoleh hasil lebih dari 75% tidak menginginkan Soeharto maju lagi sebagai calon presiden RI (A.S. Culla, 1999).


Pernyataan sikap juga datang dari berbagai kelompok, seperti 19 orang penelliti LIPI dikenal sebagai pegawai negeri, pada tanggal 20 Januari 1998 secara berani meminta pergantian kepemimpinan nasional. 


Selanjutnya, gabungan LSM, Forkot, LKPSM-NU, Interfidei dan IDEA pada 11 Februari 1998 menyatakan sikap menolak Soeharto, dan masih banyak lagi kelompok yang kontras dengan rezim saat itu (A.S. Culla, 1999).


Tetapi, walaupun banyak kalangan tidak menginginkan Soeharto, karena kekuatannya di MPR, pada Sidang Umum MPR tanggal 10 Maret 1998 Soeharto resmi ditetapkan sebagai Presiden RI periode 1998-2003 ketujuh kalinya, berpasangan dengan B.J Habibie.


Inilah penyebab memuncaknya kemarahan mahasiswa dan rakyat terhadap rezim saat itu. Akhirnya kondisi mulai gawat. Demonstrasi sana-sini. Selain mahasiswa, demonstrasi  dilakukan pula oleh elemen lain seperti LSM, Forkot serta masih banyak lagi aliansi gerakan rakyat.


Banyak korban yang berjatuhan (luka dan meninggal). Karena kondisi inilah, Soeharto tidak bisa lagi mempertahankan kekuasaanya sebagai Presiden RI dan memilih mundur sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998.


Kondisi faktual dia atas merupakan bagian dari beberapa sebab lahirnya reformasi. Walaupun harus diakui bahwa reformasi bukan hanya terkait dengan kondisi sosial-politik maupun kondisi  sosial-ekonomi Indonesia. Menelaah peran asing dan perkembangan geopolitik-geostrategi dunia saat itu tak boleh diabaikan.


Yang pasti, reformasi lahir sebagai konsekuensi kepemimpinan yang otoritarianisme di negara demokrasi. Reformasi secara sederhana dimaknai sebagai perubahan kehidupan lama, ketatanan kehidupan baru dengan tujuan perbaikan kehidupan di masa yang akan datang. Pelaku reformasi atau yang mendukung gerakan reformasi disebut sebagai kaum “reformis".


Kaum reformis adalah sekelompok orang yang berjuang atas nama negara-bangsa. Mereka bukan hanya dibekali oleh kesadaran kritis, tetapi dibekali pula oleh kesadaran transformatif. Kesadaran transformatif ialah kesadarannya kesadaran.


Kesadaran transformatif disebut pula sebagai puncaknya kesadaran, yakni konsisten antara pikiran, perkataan dan perbuatan. Karena itulah, para aktivis 98 diakui sebagai pelanjut nilai juang penduhulu, seperti aktivis 08 dikenal sebagai kelompok Penggerak Kebangkitan Nasional.


Aktivis 28 dikenal sebagai Pencetus Sumpah Pemuda dan aktivis 45 dikenal sebagai  Pelaku Revolusi Kemerdekaan. Tanpa perjuangan para aktivis pendahulu, Indonesia sebagai sebuah negara mungkin belum terbentuk.


Kaum reformis adalah sekelompok orang yang melampui usia biologisnya. Mereka memiliki lompotan pikiran dan tindakan. Mereka pula mampu menjalankan tanggungjawab di semua level kehidupan.


Walaupun mereka bertanggungjawab pada diri, keluarga, tetapi mereka bertanggungjawab pula pada praktek demokrasi yang baik. Kondisi sosial-ekonomi, sosial-politik dan poros kenyataan kehidupan rakyat lainnya selalu mereka perhatikan. Intinya mereka berbuat untuk orang banyak.

 

Kaum Reformis Saat Ini

Saat ini, tidak semua kaum reformis konsisten pada perjuangan hidupnya. Ketika mereka masuk sebagai kelompok elit, tidak semua dikategorikan sebagai reformis tulen. Sebagian hanya masuk kategori reformis gadungan.


Setidaknya mereka dapat dikelompokkan kedalam empat golongan yakni kumpulan badut reformasi, bunglon reformasi, barisan mabuk reformasi dan kaum reformis tulen (D. Mashad, 1999). Uraian empat golongan tersebut sebagai berikut :


Pertama,  kumpulan badut reformasi. Yakni kelompok mantan pejabat Orde Baru yang ketika sedang menjabat saat itu, berlaga adigang-adigung menegakkan reformasi dan demokrasi. Tiba-tiba dengan lantang bicara soal reformasi dan demokrasi, serta merasa dirinya paling demokratis. Padahal mereka adalah bagian dari dosa Orde Baru. 


Kedua, kelompok bunglon reformasi. Kelompok ini hanya mampu berbicara demokrasi, keadilan, pemerataan tatkala kebijakan pemerintah menguntungkan diri dan kelompok mereka. Tetapi ketika sang penguasa berpaling dari mereka, maka mereka berpaling dari demokrasi tadi. Intinya, demokrasi yang diperjuangkan cenderung bersifat ambigu.


Ketiga, barisan mabuk reformasi. Kelompok ini kaum cerdik pandai, yang mampu berbicara tentang demokrasi maupun reformasi pada momen diskusi, seminar (Nasional/Internasional) dengan semangat menggebu-gebu. 

 

Menghasilkan dan mempublikasikan banyak buku serta artikel/jurnal tentang reformasi atau demokrasi. Tetapi ketika diperhadapkan pada realitas hidupnya, tak mampu mengembangkan nilai-nilai demokrasi dalam lingkungannya sendiri (keluarga dan lembaganya). 

 

Keempat, kaum reformis tulen. Kelompok ini disebut pula kaum reformis lahir bathin. Ketika berkuasa ataupun sedang dikuasi (menjadi rakyat dan oposisi), pola pikir dan pola tindakannya diarahkan pada upaya pengembangan demokrasi berkeadilan dan berpemerataan. Intinya kelompok ini tidak terjebak pada politik adigang-adigung, ambiguitas dan mabuk reformasi.

 

Mengamati perilaku beberapa kelompok kaum reformis saat ini, sepertinya mereka telah terlena dengan keadaan dan tidak mampu lagi merumuskan musuh bersama bangsa. 


Jika pada generasi sebelum 08, generasi 08, generasi 28 dan generasi 45 musuh bersama adalah kolonialis-imprealis, sementara generasi 98 musuh bersama adalah rezim Soeharto, maka era reformasi tidak jelas musuh bersama.


Walaupun ancaman bangsa saat ini bersifat nonmiliter (imprealisme gaya baru) yang meliputi ancaman di bidang ekonomi, politik, ideologi, legislasi, teknologi, sosial budaya dan keselamatan umum.


Pun ancaman secara nyata yakni kemiskinan, buta huruf, KKN, kesenjangan sosial-ekonomi, radikalisme-terorisme, epidemi sewaktu-waktu, disintegrasi dan lain-lain. Namun kaum reformis belum memiliki kesamaan persepsi tentang musuh bersama yang menjadi agenda prioritas perjuangan bangsa.


Semoga bangsa ini menjadi bangsa yang berkemajuan. Reformasi lahir bukan hanya menghendaki Soeharto turun dari kursi presiden, tetapi harus pula menuntaskan secara konsisten agenda prioritasnya di tengah  perkembangan teknologi yang semakin kompleks. Semoga bermanfaat.


Penulis: Rasid Yunus
Publish: Pebriyanto A. Hulinggi


0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama